Suasana malam itu tampak hening. Tidak ada seorang pun yang berkeliaran kala Rahman melewati jalan setapak yang basah sisa hujan sore tadi.
Tujuan Rahman yaitu pulang ke rumahnya sehabis menjajakan barang dagangannya berkeliling kampung. Wajahnya tampak lesu dengan berjalan ringkih sembari memikul barang dagangannya berupa perabotan rumah tangga.
Sedari pagi tadi sampai dirinya pulang tidak ada satu barang pun yang laris. Kini Rahman bingung karena uang di dalam sakunya hanya tinggal tersisa 5 ribu rupiah. Sementara di rumahnya hanya tinggal segelas beras saja, lantas Rahman teringat pesan istrinya pagi tadi.
“Bang, nanti kalau dapat uang tolong beli beras! soalnya hanya tinggal sisa segelas.”
Rahman menarik napas dalam lalu menghembuskannya secara kasar kala teringat ucapan istrinya itu. Dalam batinnya berucap, ‘Anita pasti sedih kalau hari ini aku tidak dapat uang.’
Rasa lapar, haus dan capek membuat pikirannya kian kalut, Namun Rahman terus berjalan diantara jalanan yang samar. Di langit gelap tampak masih mendung karena terhalang oleh awan kelabu yang terus mengikuti perjalanan Rahman yang sedang kebingungan.
Tiba-tiba Rahman menghentikan langkah kakinya disebuah perkebunan pisang yang jauh dari rumah warga. Perhatian Rahman teralihkan pada sebuah bungkusan kain putih yang tergeletak begitu saja di tengah jalan.
Rahman menaruh sementara barang dagangannya di tepi jalan, lantas mengambil bungkusan kain putih yang ia lihat. Dengan penuh penasaran, Rahman membuka kain putih yang sepertinya sengaja dilipat.
Ada perasaan senang dan lega kala Rahman membuka bungkusan kain putih yang dipungutnya. Karena dalam bungkusan itu tampak uang berwarna merah sebanyak lima lembar. Namun Rahman merasa bingung, kenapa di tempat ini ada kain putih yang terlipat bahkan isinya uang. Pikir Rahman mungkin bungkusan tersebut terjatuh sewaktu seseorang melewati tempat ini.
Tidak berpikir panjang, Rahman memasukan bungkusan itu ke dalam sakunya. Dengan sedikit degup jantung yang berdebar, Rahman melirik ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tidak ada seseorang di tempat tersebut. Lantas melanjutkan kembali langkah kakinya.
Perasaan Rahman menjadi senang, karena kini ia pulang membawa uang. Sebelum sampai di rumahnya, Rahman berniat akan ke warung dekat rumahnya untuk membeli beras dan makanan, pikirnya mudah-mudahan warungnya masih buka.
Rahman mempercepat langkahnya saat warung yang ditujunya sudah terlihat, bahkan masih buka. Lantas ia membeli kebutuhan bahan makanan yang dipesan oleh istrinya pagi tadi setelah sampai di warung tersebut.
“Baru pulang lu Man? Rajin amat cari duit? Gimana, hari ini rame gak jualannya?” tanya pemilik warung itu.
Rahman hanya tersenyum, lantas menjawab singkat pertanyaan Si pemilik warung itu sembari menyodorkan uang seratus ribuan yang ia ambil dari lipatan kain yang ditemukannya di tengah jalan tadi. “Alhamdulillah!”
Setelah membayar belanjaannya, karena takut kemalaman dan ingin segera bertemu dengan istri dan anaknya, Rahman langsung berlalu pergi pulang tanpa berpamitan kepada pemilik warung itu.
“Aneh! tidak seperti biasanya sikap Rahman.” gumam Si pemilik warung itu kala menatap Rahman yang berlalu pergi hingga hilang ditelan tikungan.
Rahman di sambut oleh istrinya yang bernama Anita setelah ia sampai rumah. “Abang pulangnya ko malam?”
Rahman tidak langsung menjawab pertanyaan istrinya, ia masuk ke dalam rumah lantas menaruh barang dagangannya setelah itu duduk di kursi ruang tamu untuk merehatkan rasa capeknya.
“Iya, soalnya tadi pagi sampai sore belum ada penglaris. O..iya ini beras sama mie instan tolong segera dimasak! Abang lapar belum makan dari pagi, kamu juga pasti belum makan?” jawab Rahman sembari menyodorkan bahan makanan kepada Anita.
Anita segera menerima beras dan mie instan yang disodorkan oleh suaminya, lantas ia bertanya kembali tentang bahan makanan tersebut karena penasaran, “kalau dagangannya belum ada yang laku, terus abang dapat uang darimana untuk membeli beras dan mie instan ini?”
Sejenak Rahman terdiam, karena bingung harus menjawab apa. Kalau ia berterus terang tentang uang tersebut, pasti Anita menyuruhnya untuk mengembalikan uang yang ia temukan di tengah jalan tadi.
“Bang! Abang ko malah melamun? Abang dapat uang darimana?” tanya kembali Anita kala melihat suaminya yang hanya terdiam.
“U-ang itu, da-dari hasil menjual barang dagangan. Tadi sewaktu Abang pulang ada warga kampung sebelah yang beli barang perabotan abang.” timpal Rahman dengan kata yang sedikit terbata.
Rahman merasa tenang karena istrinya tidak menanyakan kembali terlalu detail. Lantas Anita pergi ke dapur untuk memasak beras dan mie instan yang dibawa oleh suaminya.
Sesudah membersihkan diri, Rahman langsung menuju ke ruang makan untuk menemui istrinya yang sudah selesai memasak nasi dan mie instan. Sementara anaknya yang berusia 5 tahun sudah tertidur pulas.
Manakala Rahman dan istrinya sedang menikmati makanannya masing-masing, tiba-tiba saja di luar terdengar angin bergemuruh kencang, lalu disusul dengan hujan yang tiba-tiba saja deras. Ditambah dengan suara dentuman keras di atas rumah membuat Rahman dan Anita sangat terkejut.
“Bang itu suara apa?” Anita menghentikan makannya lantas mendekati Rahman karena kaget dan takut.
“Abang juga gak tahu! Abang periksa dulu.” Rahaman beranjak dari tempat duduknya untuk memeriksa keadaan di luar.
Di luar angin masih berhembus kencang menyatu dengan air hujan hingga mengenai Rahman yang sedang berdiri di ambang pintu untuk memeriksa keadaan di luar. Tapi Rahman tidak menemukan apa-apa.
Cukup lama Rahman berdiri di luar untuk memastikan kadaan yang terjadi. Namun tetap saja tidak ada hal yang aneh, selain gemuruhnya angin dan derasnya hujan.
Rahman kembali menutup pintu lantas menguncinya. Anita menanyakan apa yang terjadi setelah Rahman kembali menemuinya, namun Rahman mengatakan tidak terjadi apa-apa.
Belum saja mereka berdua akan melanjutkan makannya kembali, tiba-tiba saja mereka dikagetkan dengan suara gedoran pintu yang terdengar keras. Rahman dan Anita saling tatap dengan keanehan malam ini.
“Kamu tunggu di sini! biar abang yang periksa! pasti ada orang iseng yang sengaja mengganggu. Biar abang kasih pelajaran!” ujar Rahman sembari beraranjak menuju ke ruang tamu.
Benar saja di luar tidak ada siapa-siapa kala Rahman membuka pintu hingga membuatnya geram, lantas berteriak, “kalau kamu manusia hadapi saya! jangan sukanya mengganggu kesenangan orang!”
Sesudah puas memaki, Rahman kembali menutup pintu. Kini ia tidak akan mempedulikannya. Selanjutnya Rahman dan istrinya melanjutkan makannya kembali.
Pukul 10 malam, Rahman dan istrinya masuk ke dalam kamar untuk istirahat. Di dalam kamar entah kenapa Rahman tidak bisa memejamkan mata, sementara anak dan istrinya sudah terlelap tidur.
Mata Rahman Masih terjaga, ia menatap ke langit-langit kamar sembari berbaring di atas ranjang. Rahman teringat kembali dengan uang yang ia temukan di tengah jalan tadi.
Ada keanehan saat Rahman menemukan uang tersebut. Biasanya kalau menemukan uang hanya tergeletak begitu saja, tidak dibungkus dengan kain atau apapun. Karena Rahman tidak hanya sekali menemukan uang di jalan atau di tempat umum.
Karena tidak mau memikirkan terlalu dalam dan pikirnya uang yang ditemukannya tadi adalah rezekinya. Rahman mengabaikan yang akan terjadi nanti.
Manakala Rahman hendak memejamkan matanya, tiba-tiba ia dikagetkan kembali dengan suara bisikan yang terdengar jelas.
“Perjanjian itu sudah disepakati saat kami mengambil uang itu. Kamu harus mencari tumbal lain jika keluargamu ingin selamat. Besok ada petunjuk yang lain dari saya RADEN PUTRI!”
Bersambung.